Saya sempat merasa kecewa, mengapa sudah berusaha mengajar dengan sebaik-baiknya, tetap saja tidak dihargai. Murid-murid yang dijari juga banyak yang nakal, makan hati sekali dan terlalu sering mereka membangkitkan emosi di kelas. Rasanya kalau kelamaan sedikit menjadi guru, bisa berkurang umur. Tidak heran banyak guru wanita yang menangis gara-gara perlakuan murid-muridnya. Rekan saya seorang guru pria, hampir tiap hari bertengkar dengan muridnya yang bandel itu. Kadang saya berpikir, mengapa kita susah-susah menasihati murid-murid itu, biarkan saja, toh bukan anak kita? Yang penting sebagai guru kita sudah bertanggung-jawab mengajar mereka, soal mereka mau belajar atau tidak, terserah. Namun saya tahu, hal ini tidak sesuai dengan hati –nurani seorang guru.
Kejadian Sabtu itu merupakan peristiwa yang tidak terlupakan, memang tanggal persisnya saya tidak ingat, namun saya ingat tahun 1982. Waktu itu kebetulan saya sebagai guru Agama kelas enam di sebuah sekolah Kristen. Suasana kelas tidak begitu menyenangkan, sehingga kalau kita yang sedang mengajar sering terpancing kemarahan. Waktu itu kebetulan saya baru saja memperingatkan anak-anak supaya tidak berisik, namun kemudian saya mendengar di bangku paling depan ada dua anak wanita tetap saja ngobrol dan tertawa-tawa. Saya tidak dapat menahan emosi, itu sebabnya anak itu mendapat hukuman.
Dasar anak Mami barangkali, sehingga baru dihukum begitu, langsung ia menangis. Ceritanya tidak sampai di sini, tetapi rupanya ketika ia pulang ke rumah melaporkan kejadian ini pada kakak lakinya. Kira-kira jam dua siang , kakaknya datang ke rumah saya, tanpa ba-bi-bu dia langsung melempari batu ke rumah, sesudah saya keluar dan tiba-tiba dia sempat meninju ke arah saya. Saya berusaha menjelaskan duduk perkaranya, namun orang itu tidak mau tahu, ia seperti “kesetanan’ seakan-akan ingin menghancurkan saya. Waktu itu saya sempat sempoyongan, namun tidak terbersit di dalam hati saya untuk membalas, walaupun adik-adik saya sudah siap menyongsong ke luar dari belakang untuk membalas. Saya hanya berkata “ Jangan lakukan itu!! ”.
Selesai itu, rumah saya dikerumuni banyak orang, sepertinya ada kejadian yang luar biasa, mereka pada umumnya pengin tahu apa yang sedang terjadi. Ada yang minta saya segera lapor pada polisi, ada pula yang mengatakan minta ganti rugi. Waktu itu saya hanya berpikir, apa yang harus saya lakukan? Perlukah saya menuntut ganti rugi? Bukankah saya sebagai guru Agama di sekolah, saya orang Kristen; rasanya tidak sesuai dengan iman kepercayaan saya untuk melakukan hal tuntut-menuntut. Itu sebabnya saya memutuskan untuk tidak menuntutnya dan minta ganti rugi.
Dua jam kemudian ayahnya datang ke sekolah, dan dipertemukan dengan saya. Waktu itu dia mewakili keluarga minta maaf atas kejadian ini. Saya terima dan memaafkannya, walaupun sesungguhnya saya tahu di dalam hati bergumul sekali. Sebagai guru Agama saya mengajarkan Firman Tuhan supya mengampuni orang lain, sementara saya diminta menuntut pembalasan, walaupun saya berhak. Saya tidak bisa bayangkan seandainya waktu itu kedua orang adik saya juga ikut-ikutan membalas, bagaimana mungkin saya melanjutkan profesi saya sebagai seorang guru Agama? Saya bersyukur untuk kejadian ini yang melatih saya sabar dan menahan diri. Bagi saya kejadian ini merupakan suatu kemenangan, di hati saya tidak tidak tersimpan kebencian dan dendam termasuk terhadap anak itu, sebab saya tahu Tuhan Yesus telah terlebih dahulu mengampuni saya, dan Dia juga yang akan memberikan kesanggupan pada saya untuk mengampuni orang lain, seperti yang tertulis di dalam Kolose 3:13 “Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuningkamu, kamu perbuat jugalah demikian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar